Menurut data Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah, dalam sepuluh tahun terakhir jumlah Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) di Indonesia mencapai lebih dari 51,26 juta unit. Diperkirakan,
jumlah ini akan terus bertambah, mengingat prospek dan keunggulan Usaha Mikro
Kecil (UMK) dalam menggerakkan ekonomi masyarakat serta tahan terhadap ancaman
krisis sudah teruji.
Pembiayaan sangat dibutuhkan untuk
mendukung permodalan dan pengembangan sektor riel. Meskipun hal ini telah
dirasakan fungsinya di Indonesia terutama dalam konsep perbankan, baik yang
berbentuk konvensional maupun syariah. Namun sayangnya dalam praktiknya di
lapangan belum menyentuh sektor Usaha Mikro Kecil (UMK), mulai dari pedagang
kaki lima hingga pedagang-pedagang yang berada di pasar tradisional. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan jenis usaha, aset dan pola administrasi usaha yang
dimiliki oleh pelaku usaha pada sektor UMK. Padahal jika diperhatikan secara
seksama sebenarnya secara keseluruhan prosentase UMK jauh lebih besar dari
usaha-usaha menengah dan besar di pasar Indonesia; dan merupakan potensi besar
dalam perekonomian yang jika dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu
akan menguatkan sektor riel dan menggerakan perekonomian Indonesia yang
nantinya berujung pada berkurangnya kemiskinan dan meningkatnya kwalitas hidup
masyarakat.
Keterbatasan terhadap akses
sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil (UMK)
terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan disebabkan
karena bank memandang bahwa UMK tidak bankable (tidak layak –pen). Kondisi ini
menyebabkan para pelaku usaha mikro kecil terpaksa bergantung pada
sumber-sumber pembiayaan informal, mulai dari, rentenir, unit-unit simpan
pinjam, koperasi, bank gelap dan bentuk-bentuk yang lain.
Untuk itu diperlukan lembaga keuangan
yang fleksibel, baik dalam hal persyaratan, jumlah pinjaman minimal dan
mekanisme pencairan kredit yang tidak serumit yang diharuskan oleh perbankan.
Nah, salah satu jawaban dari permasalahan ini adalah Baitul Mal wat Tamwil
(BMT) atau yang lazim disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Konsep Baitul Maal wat Tamwil sendiri
bukanlah hal yang baru dalam khasanah Islam. Pada fase awal Islam, terutama era
kekhalifahan Umar bin Khattab, Baitul Maal sudah membiayai sarana dan prasarana
umum, seperti pembangunan jalan raya, jembatan dan irigasi pertanian. Seperti
yang dijelaskan oleh Agustianto, bahwa konsep BMT di Indonesia sudah bergulir
lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian
dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran lembaga ini untuk mengurangi
angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu
menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya).
Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali.
Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.
Dalam kegiatan bisnisnya Baitul Maal
wat Tamwil (BMT) memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah. Prinsip syariah
itu sendiri adalah aturan/perjanjian bisnis yang berdasarkan hukum Islam antara
satu pihak dengan pihak lainnya untuk penyimpanan dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah) atau dengan pilihan pemindah kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtiqna),”.
Berbeda dengan perbankan, selain
menerapkan persyaratan administratif yang relatif lebih mudah, produk jasa
keuangan BMT dinilai lebih beragam dan mampu menjangkau sektor mikro kecil
dengan skala pinjaman yang rendah di bawah Rp. 2 juta, bahkan pada skala
pinjaman yang hanya dalam besaran ratusan ribu saja yang umumnya dipandang
tidak menarik bagi bank.
Sesuai dengan namanya, kegiatan ekonomi
Baitul Maal wat Tamwil tidak melulu dalam kegiatan bisnis (at-Tamwil) saja,
namun berperan juga dalam kegiatan sosial (Baitul Maal). Kegiatan sosial
ekonomi BMT dilakukan dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal
ini merupakan keunggulan BMT dibandingkan yang lain. Dengan menggunakan dana
ZISWAF ini, BMT memberikan pinjaman kebajikan (qardhul hasan). Qardhul hasan
sendiri pada prinsipnya adalah pinjaman yang baik yang diberikan kepada yang tidak
mampu atau yang terlilit banyak hutang dengan tujuan untuk usaha. Sehingga dana
ini tidak perlu membutuhkan jaminan dan tidak boleh memberikan imbalan/manfaat
atas pinjaman dana tersebut.
Kemudahan akses dan prinsip syariah
inilah yang menjadikan BMT lebih unggul daripada lembaga perbankan dan dapat
menjadi solusi bagi sulitnya masalah pendanaan bagi pelaku usaha mikro kecil.
Diharapkan dengan adanya BMT sektor Usaha Mikro Kecil dapat terus berkembang,
sehingga akan terbuka banyak lapangan kerja yang akan berujung pada
berkurangnya kemiskinan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Wallahu
A'lam Bishawab [MAK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar