1. Dalam Al Hikam, Ibn ‘Athaillah As Sakandari mengisahkan sebuah #doa yang diijabah Allah; tetapi sang pendoa yang justru tak siap akannya.
2. Seorang ahli ‘ibadah ber #doa memohon pada Allah agar dikaruniai 2
potong roti tiap hari tanpa harus bekerja, & sehingga dengannya,
dia..
3. ..dapat dengan tekun beribadah kepada Allah. Dalam bayangannya, jika
tak berpayah kerja mengejar dunia, ibadahnya kan lebih terjaga. #doa
4. Maka Allah pun mengabulkan #doa-nya. Dengan cara yang tak terduga.
Tiba-tiba dia ditimpa fitnah dahsyat yang membuatnya harus dipenjara
5. Allah takdirkan bahwa di penjara dia diransum 2 potong roti; 1 di
pagi, 1 di petang. Tanpa bekerja. Diapun luang & lapang beribadah.
#doa
6. Tapi apa yang dilakukan sang ‘abid? Dia sibuk meratapi nasibnya yang
terasa nestapa. Masuk penjara begitu menyakitkan & penuh duka. #doa
7. Dia tak sadar, bahwa masuk penjara adalah bagian dari terkabulnya
#doa yang dipanjatkan sepenuh hati. Rasa nestapa menutup keinsyafannya.
8. Apa pelajaran yang kita ambil dari kisah #doa sang ‘Abid ini?
WaLlaahu a’lam bish shawaab. Pertama: hati-hatilah dalam berdoa &
meminta.
9. Sungguh boleh meminta apapun, memohon serinci bagaimanapun, dengan
ucapan & bahasa terserah kita. Tapi #doa yang baik tetap ada
adabnya.
10. Di antara #doa terbaik telah Allah ajarkan dengan firmanNya, atau
tersebut dalam kisah tentang hambaNya yang shalih dalam Al Quran..
11. #Doa terbaik juga telah diajarkan oleh Nabi SAW melalui sabdanya,
atau melalui apa yang terkisah dalam perjalanan hidupnya nan mulia.
12. Maka ber #doa dengan apa yang telah mereka tuntunkan adalah lebih utama, mengungguli segala bentuk doa apapun selainnya.
13. Pelajaran selanjutnya; Allah lebih tahu dibanding kita tentang apa
yang terbaik bagi kita. Maka mintalah yang terbaik dari Allah. #doa
14. Setiap pengabulan #doa selalu diikuti konsekuensinya. Maka jika kita
meminta yang terbaik, semoga Allah bimbing juga tuk menghadapinya
15. Dan karena pengabulan #doa diikuti konsekuensi; meminta ‘hasil’
biasanya melahirkan kebuntuan; tapi meminta ‘sarana’ membuka jalan baru
16. Ber #doa minta karunia yang hiasi jiwa; keimanan, kesabaran
berlipat, kemampuan bersyukur dll; lebih indah daripada meminta
benda-benda.
17. Dan kitapun ingat; sebab Allah Maha Tahu; #doa bukanlah cara
memberitahuNya akan apa yang kita butuhkan. Doa itu bincang mesra
padaNya.
18. Maka teruslah berbincang mesra; hingga bukan hanya isi doanya,
melainkan berdoa itu sendirilah yang menjadi kebutuhan & deru jiwa
kita.
19. Selamat berdoa ya Shalih(in+at), #doa dengan sebaik-baik adab,
seindah-indah pinta, semesra-mesra suasana, setunduk-tunduk jiwa:)
20. Bincang #doa ini diilhami oleh Gurunda @sholzerotohero , penulis
buku #ZeroToHero, di perjalanan tadi. Follow beliau ya Shalih(in+at;)
21. Pelajaran lain dari kisah #doa si ‘Abid; seringkali banyak pinta
kita telah dikabulNya, tapi kita terhijab darinya. Hijab itu tersebab..
22. ..masih adanya prasangka buruk pada Allah, kurangnya syukur, &
ketidaktepatan #doa yang lahirkan ketaksiapan hadapi paket
pengabulannya.
Sabtu, 26 Januari 2013
Kamis, 24 Januari 2013
Bolehkah Mengambil Upah Pengajaran Al-Quran?
Tidak diragukan
lagi mempelajari Kitabullah, al-Quran adalah amal yang agung. Setelah
mengimani al-Quran dengan pembenaran yang pasti (tashdiqan jaziman),
maka sudah semestinya menjadikan dirinya sebagai pembelajar al-Quran. Nabi saw.
memberikan pujian kepada setiap muslim yang mempelajari al-Quran maupun yang
mengajarkannya. Sabda Beliau saw.:
خِيَارُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mengajarkan al-Quran dan yang mengajarkannya,”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
Al-Quran adalah
sumber ilmu yang amat luas. Maka kegiatan belajar mengajar tentang Kitabullah
ini meliputi banyak aspek seperti tafsir al-Quran, asbabun nuzul, termasuk cara
membacanya. Para sahabat radliallahu anhum berlomba-lomba mempelajari
al-Quran dari Rasulullah saw. sebagaimana mereka juga berlomba-lomba
mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Di jaman
sekarang pun kaum muslimin tetap bersemangat dalam mempelajari al-Quran.
Pengajaran al-Quran ada yang dilakukan oleh perorangan atau lembaga-lembaga
keislaman. Muncul kemudian pertanyaan; bolehkah seorang mualim/pengajar/trainier
atau lembaga keislaman memungut bayaran dari pengajaran al-Quran? Bila memang
diperkenankan apakah ada batas tertentu dalam biaya pengajaran al-Quran yang
ditetapkan oleh syariat Islam?
Upah Pengajaran
Kitabullah (Al-Quran)
Pembahasan
persoalan di atas sebenarnya telah dibahas oleh para ulama salafus soleh
(terdahulu). Telah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka ihwal boleh
tidaknya mengambil upah pengajaran al-Quran.
Jumhur ulama
seperti Imam Malik dan Imam Syafii memperbolehkan seseorang atau lembaga
mengambil upah dari pengajaran al-Quran. Pendapat mereka disandarkan kepada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda:
إنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya
suatu pekerjaan yang paling layak kalian ambil upah atasnya adalah
(mengajarkan) kitabullah.”(HR. Bukhari).
Ibnu Qudamah
dalam al-Mughniy menjelaskan bahwa hadits di atas berkaitan dengan
kejadian seorang sahabat yang mendapat upah dari meruqyah seseorang dengan
membacakan al-fatihah kepadanya hingga ia sembuh. Ketika terjadi perselisihan
di antara para sahabat tentang hal ini, mereka lalu melaporkannya kepada
Rasulullah saw. dan Beliau membenarkan perbuatan sahabat yang mengambil upah
dari meruqyah tadi[i].
Sementara itu
Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam bab ‘Ahdzu al-ujroh
‘ala Qiro’atil Quran (Mengambil Upah Atas Bacaan al-Quran) juga
menambahkan penjelasan bahwa kebolehan mengambil upah dari pengajaran al-Quran
itu berlaku baik peserta didiknya orang dewasa atau anak-anak. Sebagaimana
Rasulullah saw. juga mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan mahar pengajaran al-Quran[ii].
Pengarang kitab
tafsir Jalalayn yakni Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga berpendapat sama.
Meski beliau menambahkan bila si pengajar menentukan upah tertentu maka tidak
boleh, yang boleh adalah dengan kerelaan[iii].
Pendapat
pertama ini menyatakan secara kebolehan terjadinya ijaroh (pengupahan) yang
terkait dengan al-Quran. Baik dalam pengajarannya, membacanya, atau dalam ruqyah menggunakan
al-Quran.
Pendapat Yang
Mengharamkan
Meski demikian
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mengambil upah dari Kitabullah adalah haram.
Beliau berdalil dengan hadits dari Ubadah bin ash-Shamit yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Daud, bahwa suatu ketika Ubadah bin ash-Shamit ra. mengajarkan baca
dan tulis al-Quran kepada ahlush-shuffah (orang-orang yang diberi tempat
tinggal di mesjid Nabawi dan mendapat santunan dari baytul mal dan sedekah
orang-orang Anshar). Kemudian salah seorang di antara mereka menghadiahkannya
busur panah sebagai bayaran. Lalu Ubadah bin ash-Shamit berkata, “Saya tidak
mempunyai uang, saya akan memanah dengan busur ini dalam jihad di jalan Allah.”
Kemudian Ubadah menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan hal tersebut.
Seketika Nabi saw. bersabda:
إنْ كُنْت تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا
“Jika engkau
mau dikalungkan dengan kalung dari neraka, maka ambillah!”
Adanya
peringatan dari Rasulullah saw. kepada Ubadah bin ash-Shamit tersebut menurut
golongan Hanafiyah adalah qarinah (indikasi) keharaman mengambil upah
dari pengajaran dan pembacaan al-Quran.
Akan tetapi
Imam ash-Shan’ani memberikan penjelasan bahwa hadits Ubadah bin
ash-Shamit tidak bertentangan dengan hadits dari Ibnu Abbas. Dikarenakan hadits
Ubadah diperselisihkan keshahihannya. Imam Ahmad menilai hadits Ubadah mungkar
karena di dalamnya terdapat rawi bernama al-Aswad bin Tsa’labah yang tidak
dikenal di kalangan ahli hadits.
Dalam kitab Subulus
Salam juga diberikan tambahan bahwa bila seandainya hadits ini shahih maka
dapat ditafsirkan bahwa kecaman Rasulullah saw. kepada Ubadah bin ash-Shamit
ra. adalah karena Ubadah adalah orang yang telah mendermakan hidupnya untuk
berbuat baik dan mengajarkan al-Quran tanpa niat mengambil upah. Sehingga perbuatan
Ubadah itu diperingatkan oleh Rasulullah saw. akan merusak pahalanya.
Selain itu,
Ubadah dianggap tidak pantas menerima upah dari orang-orang shuffah yang
termasuk golongan fakir. Mereka hidup dari santunan negara dan kaum muslimin.
Oleh karena itu mengambil upah dari mereka adalah makruh. Demikianlah
penjelasan Imam ash-Shan’ani[iv].
Kesimpulannya,
melakukan akad kerja dari pengajaran al-Quran, membacanya, atau meruqyah dengan
menggunakan Kitabullah, hukumnya adalah boleh. Upah yang diterima seorang
pengajar al-Quran adalah halal. Wallahu’alam bi ash-shawab. []
[i] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdishi Abu Mahmud, al-Mughniy
fi al-Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, juz 3 hal 185.
[ii] Ash-Shan’ani, Subulus Salam, juz 4 hal. 322.
[iii] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Quran,
juz 1 hal. 123
[iv] Ash-Shan’ani, idem, juz 4 hal 323.
www.cintaquran.com
Selasa, 22 Januari 2013
Elegi Cinta Salman Al-Farisi
Salman
Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di
hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan
pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan
menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa
asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya
tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum
begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi
sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab
dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah
gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud
Darda’.
”Subhanallaah.. wal
hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia
dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua
shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari
seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman,
”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud
Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Jalan Cinta Para Pejuang. Salim A.Fillah
Rabu, 09 Januari 2013
Prosedur Sertifikasi Halal
pa Itu Sertifikat Halal?
Yang dimaksud Sertifikat Halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman LABEL HALAL pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Pengadaan Sertifikasi Halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun ketidaktahuan seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal.
Jaminan Halal dari Produsen
Masa berlaku Sertifikat Halal adalah 2 tahun. Hal tersebut untuk menjaga konsistensi produksi produsen selama berlakunya sertifikat. Sedangkan untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.
Untuk memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI memberikan ketentuan bagi perusahaan sebagai berikut:
Pertama-tama produsen yang menginginkan sertifikat halal mendaftarkan ke sekretariat LPPOM MUI dengan ketentuan sebagai berikut:
www.myhalalcorner.com
Yang dimaksud Sertifikat Halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman LABEL HALAL pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Pengadaan Sertifikasi Halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun ketidaktahuan seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal.
Jaminan Halal dari Produsen
Masa berlaku Sertifikat Halal adalah 2 tahun. Hal tersebut untuk menjaga konsistensi produksi produsen selama berlakunya sertifikat. Sedangkan untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.
Untuk memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI memberikan ketentuan bagi perusahaan sebagai berikut:
- Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal terlebih dahulu harus mempersiapkan Sistem Jaminan Halal. Penjelasan rinci tentang Sistem Jaminan Halal dapat merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal yang dikeluarkan oleh LP POM MUI.
- Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim Auditor Halal Internal (AHI) yang bertanggungjawab dalam menjamin pelaksanaan produksi halal.
- Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk diinspeksi secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI.
- Membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.
Pertama-tama produsen yang menginginkan sertifikat halal mendaftarkan ke sekretariat LPPOM MUI dengan ketentuan sebagai berikut:
- Bagi Industri Pengolahan:
- Produsen harus mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi yang sama dan/atau yang memiliki merek/brand yang sama.
- Produsen harus mendaftarkan seluruh lokasi produksi termasuk maklon dan pabrik pengemasan.
- Ketentuan untuk tempat maklon harus dilakukan di perusahaan yang sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang bersedia disertifikasi halal.
- Bagi Restoran dan Katering:
- Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh menu yang dijual termasuk produk-produk titipan, kue ulang tahun serta menu musiman.
- Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh gerai, dapur serta gudang.
- Bagi Rumah Potong Hewan:
- Produsen harus mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang berada dalam satu perusahaan yang sama
- Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi Borang yang telah disediakan. Borang tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan
- Borang yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya dikembalikan ke sekretariat LP POM MUI untuk diperiksa kelengkapannya, dan bila belum memadai perusahaan harus melengkapi sesuai dengan ketentuan.
- LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal audit. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen dan pada saat audit, perusahaan harus dalam keadaan memproduksi produk yang disertifikasi.
- Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan diberitahukan kepada perusahaan melalui audit memorandum. Jika telah memenuhi persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit guna diajukan pada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.
- Laporan hasil audit disampaikan oleh Pengurus LPPOM MUI dalam Sidang Komisi Fatwa Mui pada waktu yang telah ditentukan.
- Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, dan hasilnya akan disampaikan kepada produsen pemohon sertifikasi halal.
- Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
- Sertifikat Halal berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan fatwa.
- Tiga bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir, produsen harus mengajukan perpanjangan sertifikat halal sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan LPPOM MUI.
- Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk (Sistem Jaminan Halal).
- Pemeriksaan dokumen-dokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat halal pendukungnya, dokumen pengadaan dan penyimpanan bahan, formula produksi serta dokumen pelaksanaan produksi halal secara keseluruhan.
- Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/catering/outlet.
- Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus terpenuhi.
- Pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai perlu.
- Perusahaan wajib mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal sepanjang berlakunya Sertifikat Halal
- Perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap 6 (enam) bulan sekali setelah terbitnya Sertifikat Halal.
- Perubahan bahan, proses produksi dan lainnya perusahaan wajib melaporkan dan mendapat izin dari LPPOM MUI.
- Produsen harus mendaftar kembali dan mengisi borang yang disediakan.
- Pengisian borang disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk.
- Produsen berkewajiban melengkapi kembali daftar bahan baku, matrik produk versus bahan serta spesifikasi, sertifikat halal dan bagan alir proses terbaru.
- Prosedur pemeriksaan dilakukan seperti pada pendaftaran produk baru.
- Perusahaan harus sudah mempunyai manual Sistem Jaminan Halal sesuai dengan ketentuan prosedur sertifikasi halal di atas.
www.myhalalcorner.com
Tips membedakan daging #Babi dan #Sapi
1. Yuk baca Bismillahirrahmanirrahiim, biar manfaat ilmunya Tips Membedakan Daging #Sapi dan #Babi
2. Untuk membedakan, ada 6 hal penting yang harus diperhatikan, apa saja ya? Yuk simak #Babi #Sapi
3. Dari segi WARNA : daging #Babi lebih pucat dibanding daging#Sapi . Hati2 daging #Babi oplosan dikamuflase dg lumuran darah#Sapi
4. Dari SERAT: daging #Babi seratnya samar dan renggang, #Sapiseratnya jelas dan padat. Ktk keduanya direnggangkan bedanya terlihat jelas
5. Dari Penampakan LEMAK : #Babi lebih elastis, basah, sulit dilepas dr daging, #Sapi lebih kaku, berbentuk, kering, berserat
6. Dari TEKSTUR: daging #Sapi lebih kaku dan padat, daging #Babilembek dan mudah direnggangkan
7. Dari AROMA: daging #Sapi bau anyir khas, sedang daging #Babibaunya menyengat
8. REBUSAN: daging #Sapi warna jd abu2, serat mengeriput. Daging#Babi warna jd putih, serat lebih mulus
http://www.myhalalcorner.com
2. Untuk membedakan, ada 6 hal penting yang harus diperhatikan, apa saja ya? Yuk simak
3. Dari segi WARNA : daging
4. Dari SERAT: daging
5. Dari Penampakan LEMAK :
6. Dari TEKSTUR: daging
7. Dari AROMA: daging
8. REBUSAN: daging
http://www.myhalalcorner.com
Langganan:
Postingan (Atom)