Tidak diragukan
lagi mempelajari Kitabullah, al-Quran adalah amal yang agung. Setelah
mengimani al-Quran dengan pembenaran yang pasti (tashdiqan jaziman),
maka sudah semestinya menjadikan dirinya sebagai pembelajar al-Quran. Nabi saw.
memberikan pujian kepada setiap muslim yang mempelajari al-Quran maupun yang
mengajarkannya. Sabda Beliau saw.:
خِيَارُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mengajarkan al-Quran dan yang mengajarkannya,”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
Al-Quran adalah
sumber ilmu yang amat luas. Maka kegiatan belajar mengajar tentang Kitabullah
ini meliputi banyak aspek seperti tafsir al-Quran, asbabun nuzul, termasuk cara
membacanya. Para sahabat radliallahu anhum berlomba-lomba mempelajari
al-Quran dari Rasulullah saw. sebagaimana mereka juga berlomba-lomba
mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Di jaman
sekarang pun kaum muslimin tetap bersemangat dalam mempelajari al-Quran.
Pengajaran al-Quran ada yang dilakukan oleh perorangan atau lembaga-lembaga
keislaman. Muncul kemudian pertanyaan; bolehkah seorang mualim/pengajar/trainier
atau lembaga keislaman memungut bayaran dari pengajaran al-Quran? Bila memang
diperkenankan apakah ada batas tertentu dalam biaya pengajaran al-Quran yang
ditetapkan oleh syariat Islam?
Upah Pengajaran
Kitabullah (Al-Quran)
Pembahasan
persoalan di atas sebenarnya telah dibahas oleh para ulama salafus soleh
(terdahulu). Telah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka ihwal boleh
tidaknya mengambil upah pengajaran al-Quran.
Jumhur ulama
seperti Imam Malik dan Imam Syafii memperbolehkan seseorang atau lembaga
mengambil upah dari pengajaran al-Quran. Pendapat mereka disandarkan kepada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda:
إنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya
suatu pekerjaan yang paling layak kalian ambil upah atasnya adalah
(mengajarkan) kitabullah.”(HR. Bukhari).
Ibnu Qudamah
dalam al-Mughniy menjelaskan bahwa hadits di atas berkaitan dengan
kejadian seorang sahabat yang mendapat upah dari meruqyah seseorang dengan
membacakan al-fatihah kepadanya hingga ia sembuh. Ketika terjadi perselisihan
di antara para sahabat tentang hal ini, mereka lalu melaporkannya kepada
Rasulullah saw. dan Beliau membenarkan perbuatan sahabat yang mengambil upah
dari meruqyah tadi[i].
Sementara itu
Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam bab ‘Ahdzu al-ujroh
‘ala Qiro’atil Quran (Mengambil Upah Atas Bacaan al-Quran) juga
menambahkan penjelasan bahwa kebolehan mengambil upah dari pengajaran al-Quran
itu berlaku baik peserta didiknya orang dewasa atau anak-anak. Sebagaimana
Rasulullah saw. juga mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan mahar pengajaran al-Quran[ii].
Pengarang kitab
tafsir Jalalayn yakni Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga berpendapat sama.
Meski beliau menambahkan bila si pengajar menentukan upah tertentu maka tidak
boleh, yang boleh adalah dengan kerelaan[iii].
Pendapat
pertama ini menyatakan secara kebolehan terjadinya ijaroh (pengupahan) yang
terkait dengan al-Quran. Baik dalam pengajarannya, membacanya, atau dalam ruqyah menggunakan
al-Quran.
Pendapat Yang
Mengharamkan
Meski demikian
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mengambil upah dari Kitabullah adalah haram.
Beliau berdalil dengan hadits dari Ubadah bin ash-Shamit yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Daud, bahwa suatu ketika Ubadah bin ash-Shamit ra. mengajarkan baca
dan tulis al-Quran kepada ahlush-shuffah (orang-orang yang diberi tempat
tinggal di mesjid Nabawi dan mendapat santunan dari baytul mal dan sedekah
orang-orang Anshar). Kemudian salah seorang di antara mereka menghadiahkannya
busur panah sebagai bayaran. Lalu Ubadah bin ash-Shamit berkata, “Saya tidak
mempunyai uang, saya akan memanah dengan busur ini dalam jihad di jalan Allah.”
Kemudian Ubadah menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan hal tersebut.
Seketika Nabi saw. bersabda:
إنْ كُنْت تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا
“Jika engkau
mau dikalungkan dengan kalung dari neraka, maka ambillah!”
Adanya
peringatan dari Rasulullah saw. kepada Ubadah bin ash-Shamit tersebut menurut
golongan Hanafiyah adalah qarinah (indikasi) keharaman mengambil upah
dari pengajaran dan pembacaan al-Quran.
Akan tetapi
Imam ash-Shan’ani memberikan penjelasan bahwa hadits Ubadah bin
ash-Shamit tidak bertentangan dengan hadits dari Ibnu Abbas. Dikarenakan hadits
Ubadah diperselisihkan keshahihannya. Imam Ahmad menilai hadits Ubadah mungkar
karena di dalamnya terdapat rawi bernama al-Aswad bin Tsa’labah yang tidak
dikenal di kalangan ahli hadits.
Dalam kitab Subulus
Salam juga diberikan tambahan bahwa bila seandainya hadits ini shahih maka
dapat ditafsirkan bahwa kecaman Rasulullah saw. kepada Ubadah bin ash-Shamit
ra. adalah karena Ubadah adalah orang yang telah mendermakan hidupnya untuk
berbuat baik dan mengajarkan al-Quran tanpa niat mengambil upah. Sehingga perbuatan
Ubadah itu diperingatkan oleh Rasulullah saw. akan merusak pahalanya.
Selain itu,
Ubadah dianggap tidak pantas menerima upah dari orang-orang shuffah yang
termasuk golongan fakir. Mereka hidup dari santunan negara dan kaum muslimin.
Oleh karena itu mengambil upah dari mereka adalah makruh. Demikianlah
penjelasan Imam ash-Shan’ani[iv].
Kesimpulannya,
melakukan akad kerja dari pengajaran al-Quran, membacanya, atau meruqyah dengan
menggunakan Kitabullah, hukumnya adalah boleh. Upah yang diterima seorang
pengajar al-Quran adalah halal. Wallahu’alam bi ash-shawab. []
[i] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdishi Abu Mahmud, al-Mughniy
fi al-Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, juz 3 hal 185.
[ii] Ash-Shan’ani, Subulus Salam, juz 4 hal. 322.
[iii] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Quran,
juz 1 hal. 123
[iv] Ash-Shan’ani, idem, juz 4 hal 323.
www.cintaquran.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar